Wamen Dikti Stella Christie mengritik sistem penulisan Skripsi di indoneisa


Sebagai pembuka, penulis ingin memulai dengan suatu kaidah: “Kritik itu tidak selalu harus dilakukan oleh orang yang lebih pintar, tapi dilakukan oleh orang yang perspektifnya lebih luas.” Analogi-nya seperti komentator yang mengomentari pertandingan sepak bola, padahal yang mengomentari itu tidak lebih baik skill-nya dari pemain di lapangan, namun ia bisa memberikan statement yang lugas dan rasional. Kritik itu bersifat dekonstruktif (membongkar), jadi bagi orang yang sering mengatakan kritik membangun, maka bisa dipastikan dia sendiri tidak mengerti fungsi kritik.

Skripsi adalah tugas akhir yang biasa dikerjakan oleh mahasiswa tingkat akhir sebagai syarat kelulusan. Namun belum lama ini, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi  Sains dan teknologi,Prof. Stella Christie, dalam sebuah podcast berjudul "GoodTalk Eps Prof. Stella Christie: Kenapa Riset Indonesia Belum Berdampak Optimal? Ini Sebabnya" (11/3/2025) mengkritik penulisan skripsi di Indonesia yang dinilai terlalu prosedural, “Janganlah kita berfokus pada prosedural, karena hal semacam itu gak ada gunanya,” ujar beliau. 

Sebagai pembanding saja, bahwa paper Einstein tentang General Relativity yang mengubah dunia itu hanya berjumlah 9 halaman. Lebih lanjut Prof. Stela mengatakan, “Coba bayangkan jika Einstein belajar di Indonesia harus menulis skripsi 100 halaman, gak akan ada yang baca itu karya ilmiahnya,” ujar beliau dengan nada sarkasme.

Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia sendiri, penulisan skripsi sebagai tugas akhir masih terlalu berfokus pada hal-hal prosedural dan beban administrasi yang terlalu banyak. Topik penelitian yang diangkat pun terkesan repetitif, seolah hanya sebagai kendaraan agar segera lulus, belum mencapai pada substansi yang dapat memecahkan permasalahan sosial ataupun memenuhi keinginan dunia industri.

Sehingga tidak aneh jika angka pengangguran sarjana di Indonesia masih banyak, karena masalah klasik yang masih belum selesai sampai saat ini yaitu ketidaksesuaian antara permintaan di dunia industri dengan apa yang diajarkan di bangku perkuliahan yang masih tidak relevan. 

Maka sebagai alternatif solusi, kiranya penulis menyarankan agar penulisan skripsi di berbagai universitas lebih disederhanakan dan berfokus pada substansi, atau dengan melakukan penelitian terapan berdasarkan kebutuhan masyarakat maupun riset kolaborasi dengan industri.

Kunci keberhasilannya terletak pada penyederhanaan format tulisan dan beban administrasinya, sehingga yang lebih ditonjolkan adalah ide, bukan sekadar memenuhi syarat harus sekian halaman. Sebagai closing statement dalam podcast tersebut, Prof. Stela mengatakan, “Di jurnal-jurnal top dunia seperti Nature dan sains hanya boleh 1 halaman untuk publikasi.” Semoga ke depannya penulisan skripsi di Indonesia dapat bergeser dari syarat prosedural menuju matriks outcome yang dapat diukur kebermanfaatannya untuk masyarakat luas.


sumber :

https://youtu.be/ZDoyjW3urvM?si=x0cjZoqK_EpbwYqF 

https://youtu.be/QM9QTi44kHI?si=ZLB9xmNR3xNVaL8W

Berkomentar secara akademis lah, hindari ujaran kebencian dan kata yang tidak pantas, utamakan kalimat akademis !

0 Comments